Rabu, 16 Januari 2013

Bromo dan keindahannya yang tersimpan


Pada kesempatan yang lalu angkatan 2010 telah melakukan praktik kerja lapangan atau yang biasa disebut dengan PKL di salah satu pegunungan yang ada di timur pulau Jawa tepatnya di Pegunungan Bromo yang telah dilaksanakan pada tanggal 22-26 mei 2012.  PKL kali ini bertemakan “kearifan Lokal”.  Pemberangkatan dilakukan pada pukul 16.00 wib pada hari selasa 22 mei  dan sampai di tempat tujuan lebih kurang pukul 23.00 wib pada tanggal 23 mei 2012, sungguh perjalanan yang cukup melelahkan memang.
Sesampainya di lokasi penginapan, kami merasa kaget dengan suhu yang sangat berbeda dan menurut kami itu lumayan ekstrim. Suhu udara di kawasan Bromo ini kira-kira 6 ˚C yang membuat badan kita menggigil karena tak terbiasa dengan suhu udara yang rendah seperti itu.
Setelah melawati malam yang cukup panjang dengan suhu udara yang tidak bersahabatnya itu, keesokan harinya kami langsung diterjunkan ke lapangan untuk mencari responden  yaitu warga suku tengger, untuk menggali informasi tentang kearifan lokal yang ada di sana. Dengan dua daerah kajian yaitu Desa Ngadisari tempat kami menginap dan Desa wanakitri  salah satu desa yang berada di dekat Gunung Bromo.
Sekilas tentang Gunung Bromo
Pegunungan Bromo berada pada ketinggian 2392 m di atas permukaan laut.   Bromo memiliki keunikan tersendiri yaitu hamparan lautan pasir seluas 5250 ha. Bromo memiliki tipe ekosistem sub-montana, montana dan sub-alphin dengan pohon-pohon yang besar dan berusia ratusan tahun.  pegunungan Bromo ini merupakan pegunungan yang masih aktif dan tempat wisata yang sangat terkenal di Jawa Timur, selain para wisatawan menyukai pemandangan alamnya yang begitu mengagumkan, di pegunungan bromo ini juga kita dapat menyaksikan sang surya keluar dan tenggelam dari tempat peraduannya. sungguh pemandangan yang sulit kita temukan jika kita bandingkan dengan Bandung. 

 
Gambar:  (1) pegunungan Bromo, (2) Gunung batok
Beralih ke hal lain, masyarakat Tengger sebagian besar beragama Hindu, namun Hindu Tengger berbeda dengan Hindu Bali, Hindu Tengger tidak mengenal kasta seperti Hindu Bali. Mereka menganggap semuanya sama, yang membedakan derajat manusia yaitu amal kebaikannya di mata Tuhan. Pakaian adat yang sering digunakan pada upacara adatnya yaitu kaum laki-lakinya menggunakan udeng (sejenis ikat kepala) dengan pakaian serba hitam, dan kaum perempuannya hanya menggunakan pakaian yang serba hitam juga.
Sedikit cerita tentang asal-usul kata Tengger, kata Tengger berasal dari seorang putri raja bernama Roro Anteng dan Suaminya yang bernama Joko seger. jadi tengger itu berasal dari kata Teng (dari Roro Anteng) dan Ger (Dari Joko Seger).
Adapun kearifan lokal yang ada di suku Tengger yaitu, warganya tidak boleh menambah lahan pertanian  dengan membuka lahan baru, masyarakat dari luar suku Tengger tidak boleh menetap dan menjadi warga Tengger kecuali jika orang tersebut menikah dengan warga asli tengger. Warga suku Tengger masih menjalankan upacara-upacara adat seperti upara kasada, Upacara Karo. Upacara Kasada yaitu sejenis upacara untuk meminta panen yang berlimpah dan tolak bala. Upacara kasada ini biasanya dilakukan pada tanggal 14, 15 di bulan kasada (kesepuluh) menurut penanggalan jawa, tepatnya saat bulan purnama upacara dilakukan pada tengah malam sampai dengan dini hari.  Upacara karo, upacara ini seperti Hari raya bagi warga Tengger, seperti halnya Hari raya Idul Fitri bagi umat Muslim. upacara karo  ini hampir sama saja, yaitu melakukan silaturahmi dengan keluarga, tetangga, bahkan mereka tidak lupa untuk memakai baju baru ketika hari raya kasada. 
Sayangnya ketika kami melakukan PKL tidak ada upacara adat yang sedang dilakukan karena waktu berkunjung kami yang tidak tepat. 
   
(a)                                                           (b)
Gambar:  (a) bromo dari jauh              (b) Gunung batok lebih dekat
         
(a)                                                                    (b)
Gambar: (a) Gunung batok,                (b) kawah bromo